Widget HTML Atas

Cerpen "Hipnotis", Cerpen Berbagi Pengalaman tentang Hipnotis

Cerpen "Hipnotis", Cerpen Berbagi Pengalaman tentang Hipnotis Oleh: Euis Sulastri

Di balik jerjak jendela rumahnya, Kinasih menyaksikan jatuhnya titik-titik air hujan. Ia merasakan betapa sakitnya air itu tatkala membentur kerikil atau koral. Begitu banyak orang membiarkan titik-titik air hujan itu jatuh ke tempat tak layak. Bila bumi tertutup sampah atau beton, mereka akan menggenang memenuhi seluruh permukaan. Kalau sudah begini, air jugalah yang dipersalahkan. Titik-titik air itu adalah aku, yang kini jatuh lalu dicaci dan dicerca. Semua mempersalahkan aku, gumamnya dalam hati.
Ingin sekali ia menggantikan batu-batu itu dengan spons agar air itu jatuh ke tempat empuk. Bahkan ia juga ingin menampung seluruh titik air yang jatuh ke tempat tak layak itu untuk ia bagikan saat musim kemarau panjang. Namun sungguh ia tak kuasa.

Entah sudah berapa lama Kinasih berdiri di sana. Entah sudah berapa banyak titik air itu membentur batu. Namun kembali ia menyesal, ia tak sanggup menolongnya. Bahkan ia sudah lama tak berani membuka jendela itu lebar-lebar. Apalagi pintu rumahnya. Ia hanya berani keluar rumah untuk menjemur handuknya di taman belakang yang diapit oleh tembok rumah tetangganya. Tak seorang pun dapat melihatnya di sana. Palingpaling hanya Si Mbok, pembantu yang setia mendampinginya selama ini.

Seharian ia betah sekali mengurung diri di kamarnya. Terlebih bila sudah membuka-buka album foto kenangan bersama suami yang dicintainya. Terkadang album itu nangkring di dadanya berjam-jam lamanya. Album itu baru berpindah tempat kalau Si Mbok yang memindahkannya. Sementara pemiliknya, merajut mimpi bersama suaminya yang menunggunya entah di mana.

Kebiasaan seperti itu ia lakukan tak lama setelah ia kalah di sidang pengadilan. Ia menggugat seseorang yang telah menjatuhkan harga dirinya. Lelaki itu telah mencabik-cabik mukanya dan menyayat-nyayat hatinya dengan sembilu kemudian mengucurinya dengan air jeruk nipis. Begitulah kira-kira pedihnya Kinasih saat ini. Sebagai orang timur, ia begitu menjunjung tinggi kehormatannya. Ia tahu benar, mana yang boleh dan yang tak boleh ia lakukan. Sebab Bapak dan ibunya sangat menanamkan tata susila dan budi pekerti.

“Nduk, ingat, jagalah kehormatan dan harga dirimu baik-baik. Janganlah kamu corengkan jelaga di muka orang tua dan suamimu hanya gara-gara kelakuanmu. Ibu dan Bapak sudah membekalimu dengan ilmu dan agama. Kehormatan dan harga diri wanita ada pada ciri kewanitaanmu itu sendiri. ” Begitulah orang tuanya menasihati saat akan melepas anaknya pindah ke kota Jakarta, mengikuti jejak suaminya yang pilot itu.

Nasihat itu selalu terngiang-ngiang di telinganya. Bahkan saat ini nasihat itulah yang sangat menusuk-nusuk jantung dan hatinya. Ibu, Bapak, aku telah mencoba menjaganya dengan sebaikbaik aku menjaganya. Tapi mengapa berat benar cobaan yang aku alami saat ini, gumamnya.
Kembali bayangan peristiwa setahun lalu menyeruak di hadapannya, saat sebagian besar orang bertepuk tangan mendukung keputusan hakim. Saat itu ingin sekali Kinasih menampar dan meludahi wajah Sang Aktor. Yang telah menodainya. Namun ia tak kuasa karena seluruh sendinya begitu lunglai.

Sang Aktor segera digandeng oleh seorang perempuan muda yang cantik. Mungkin ia ingin membangun opini publik bahwa tak mungkin ia melakukan perbuatan bejat itu kepada Kinasih yang janda itu. Masih banyak gadis cantik yang mengejarnya sehingga anggapan masyarakat, Kinasih hanya mencari sensasi saja. Di belakangnya para pengacara dan dua orang bodyguard menggiring Sang Aktor dengan senyum bangga. Mereka melambai-lambaikan tangannya. Nyamuk pers memburunya dengan berbagai pertanyaan.
“Bagaimana perasaan Anda saat ini?”
“Biasa-biasa saja karena sudah sepantasnya saya bebas dari tuduhan itu. Sudah saya katakan dari awal, bahwa … siapa nama perempuan itu?”

Sang Aktor pura-pura lupa menyebut nama Kinasih.
Para wartawan serempak menjawab. “Kinasih ….!”
“Ya, Kinasih, dia hanya mencari sensasi saja.”

Segera kedua bodyguard-nya mendorong para wartawan itu untuk minggir karena sang aktor akan segera memasuki Ford Eferestnya. Selain Sang Aktor, Kinasih pun tak lepas dari buruan nyamuk pers.
“Apa yang akan Anda lakukan setelah ini?”
“Memohon keadilan pada yang Maha Adil dan yang Maha Menyaksikan. Keadilan di dunia hanya milik segelintir orang. Dan itu bukan milik para janda. Saya hanya ingin mengatakan bahwa tak semua janda menghendaki status itu. Dan kalaupun ada di antara kami yang rusak, bukan berarti kami semua harus ikut rusak. Kami ini bukan virus atau monster yang harus ditakuti. Kami juga punya perasaan dan harga diri.”

Kinasih dikejutkan oleh Si Mbok yang membuyarkan bayangan kegetirannya, “Nduk, makan siang sudah siap dari tadi, sampai-sampai sudah dingin. Bok sudah, jangan dipikir terus. Serahkan saja pada Gusti Allah. Bukankah kita semua sudah habis-habisan mengusahakan hingga rumah yang bagus sudah terjual. Sekarang, janganlah kesehatan Nduk pertaruhkan. Kalau saja Ndoro Putri dan Ndoro kakung tahu bahwa putrinya melamun terus pasti mereka lebih menderita lagi. Kata-kata pembantunya yang begitu setia mendampinginya, baru kali ini berhasil menghidupkan kembali semangatnya yang telah mati.

Suatu hari Kinasih memberanikan diri juga keluar rumah untuk mengambil uang di ATM yang tak begitu jauh dari rumahnya. Selama ini Si Mbok yang melakukannya, setelah Kinasih ajari secara sabar.

Baru saja Kinasih akan meninggalkan anjungan itu, tiba-tiba seorang lelaki bertanya tentang sebuah alamat yang dicarinya. Karena ia mengetahuinya, Kinasih menjawabnya dengan ramah. Lelaki itu berterima kasih pada Kinasih sambil menepuk lengannya. Setelah itu Kinasih tak ingat apa-apa lagi. Entah bagaimana caranya sampai kartu ATM itu berpindah tangan. Kinasih merasa tak habis pikir, mengapa lelaki itu begitu mudahnya menguras seluruh uang tabungannya. Dan yang lebih aneh lagi, ia pun menyebutkan dengan jujur nomor PIN-nya.

Kinasih akhirnya pulang dengan tangan hampa. Kejadian itu tak ia ceritakan pada Si Mbok. Lama juga ia tercenung di kamar sendirian. Namun tiba-tiba bibirnya yang mungil, sedikit mengembang dan matanya yang selama ini sembab, terbelalak, kepalanya menganggukangguk. Dari mulutnya tiba-tiba keluar kata-kata, “Akan kucari kau penghipnotis, sampai ke mana pun kau akan kucari!” Hampir tiap hari Kinasih bertualang mencari penghipnotis itu dari ATM ke ATM, sebab ia yakin tempat beroperasinya di sekitar tempat-tempat seperti itu.

Suatu hari, di hari ke-21 pencariannya, tepatnya tanggal muda, ketika orang ramai mengambil uangnya di ATM, Kinasih begitu kaget melihat seseorang yang pernah dilihatnya. Kinasih mencoba mengerahkan seluruhn ingatannya. Akhirnya ia yakin, dialah lelaki yang selama ini dicarinya. Ciri lelaki itu memang sempat sedikit terekam dalam ingatannya, tubuhnya tinggi atletis, dagunya panjang, dan wajahnya lumayan tampan.
Lelaki itu kini sedang mengikuti wanita muda yang baru saja mengambil uang di ATM. Lelaki itu menepuk bahu wanita muda di tempat yang agak sepi. Kinasih menyaksikannya dari jarak yang tak terlalu jauh. Saat itu hari sudah mulai senja. Tak ada orang lain yang memperhatikannya, kecuali dirinya. Tanpa banyak basa-basi wanita muda itu menyerahkan seluruh uang yang baru saja diambilnya dari ATM.

Setelah lelaki itu berhasil mendapatkan uang dari sasarannya, segera ia pergi meninggalkan wanita itu. Dan Kinasih memberanikan diri menguntitnya dari belakang. Lelaki itu menaiki mikrolet yang sedang ngetem. Tanpa ragu-ragu Kinasih pun ikut naik mikrolet yang sama. Kinasih melirik dengan ekor matanya, namun ia tak menghiraukan Kinasih sedikit pun.

Mikrolet terus melaju memasuki jalan-jalan kecil yang hanya dapat dilalui oleh dua buah mobil kecil. Sampai di sebuah tikungan, tiba-tiba lelaki itu menyentilkan telunjuknya ke langit-langit mobil. Sopir mikrolet menurunkannya tepat di mulut gang kecil. Kinasih pun bergegas mengikutinya.

Sepanjang gang, anak-anak kecil ramai bermain galasin. Lingkungannya begitu kumuh dan padat. Tak seorang pun mau memperhatikan Kinasih. Hal itu sangat dimaklumi, sebagian penduduk Jakarta memang terkenal dengan filosofi hidupnya, elu-elu, gue-gue. Hampir di ujung gang, penghipnotis itu berbelok ke arah kiri, masuk ke gang buntu yang sangat sempit. Di ujung gang buntu itulah ia memasuki rumah yang pintunya tak beda tingginya dengan tubuhnya yang jangkung itu.

Kinasih berhenti sebentar untuk menarik nafas panjang. Setelah itu ia segera memberanikan diri untuk berdiri di depan pintu yang belum sempat ditutup oleh penghuninya.
“Permisi, boleh saya masuk?”
“Anda siapa, bukankah Anda yang tadi satu mikrolet dengan saya, mau bertemu siapa, dan mau apa?’’
Pertanyaannya begitu memberondong. Kinasih merasakan pertanyaan itu agak kurang enak didengar. Namun ia harus membuang perasaan tersinggungnya. Ia bertekad untuk mengubah pribadinya. Kinasih yang dulu lembut, pemalu, dan penakut kini harus sebaliknya sebab dengan sikap asalnya itu malah merugikan dirinya.
“Saya Kinasih yang beberapa hari lalu Anda hipnotis di sebuah ATM,’’ begitulah Kinasih membuka pembicaraan. Kinasih menangkap perubahan ekspresi lelaki itu begitu cepat. Wajahnya memerah, dahinya berkerut.
“Maaf, saya datang ke mari bukan untuk meminta kembali kartu ATM saya, melainkan saya ingin mengucapkan terima kasih kepada Anda karena sudah berhasil menghipnotis saya. Begitu salut saya pada Anda karena saya telah berkata sejujur-jujurnya tentang nomor PIN saya. Atas dasar inilah, saya ingin meminta pertolongan. Dan saya mengerti, setiap jasa orang lain harus saya hargai.”

Dahi penghipnotis semakin berkerut, namun tak lama kemudian ia tertawa ngakak. Sampaisampai air liurnya hampir menyemburat kalau saja tak ditahan dengan tangannya. Pasalnya baru kali ini ia mengalami peristiwa aneh tapi nyata itu. “Maaf, apa saya tak salah dengar? Anda berterima kasih begitu tulusnya atas ulah saya yang telah menghipnotis Anda. Padahal, selama lima belas tahun saya menyandang profesi sebagai penghipnotis, saya hanya dicaci-maki, disumpahserapahi, bahkan dijauhi dan ditakuti oleh banyak orang.”
“Betul, saya sungguh-sungguh. Ini KTP saya. Boleh Anda tahan kalau saya main-main,” tangan Kinasih tampak agak gemetar. Ia sedikit memaksa penghipnotis untuk mengambil KTP yang ia sodorkan. Penghipnotis itu membaca lamat-lamat nama dan alamatnya.
“Ya, tapi bagaimana saya bisa percaya pada Anda begitu saja. Jangan-jangan Anda seorang wartawati atau wanita reserse?”
“Wah, Anda salah besar. Kalau tidak percaya juga, ini ID card saya.”
Sambil sedikit tersenyum, lelaki membaca kartu keanggotaan Kinasih.
“Sepertinya, beberapa bulan yang lalu, nama Anda ini sering saya dengan di berita infotainment. Dan kalau tak salah dengar, bukankah Anda yang berseteru dengan seorang aktor yang sedang naik daun?”
“Ya, itulah saya.”
“O, jadi Anda orangnya? Ternyata wajah Anda di televisi tak seindah warna aslinya,” begitulah ia menyanjung kecantikan Kinasih dengan meniru kalimat sebuah iklan.
“Itulah sebabnya saya datang ke mari sehubungan dengan kasus saya selama ini. Telah banyak jalan yang saya tempuh, tetapi kemenangan tak pernah berpihak pada saya. Bahkan saya menjadi anggota asosiasi tersebut pun agar mendapat dukungan dari teman-teman yang senasib dengan saya. Ketua asosiasi telah memperjuangkan saya namun tidak berhasil juga.
Jadi maksud saya, tak lain dan tak bukan, ingin membuktikan dengan cara saya sendiri. Saya yakin lewat Anda usaha saya akan berhasil.”
Kinasih mengungkapkannya dengan mata berkaca-kaca. Air matanya yang telah kering, kini ada lagi. Namun kali ini air mata penuh harapaan. Kinasih meremas-remaskan kedua tangannya, menumpahkan dan melampiaskan sakit hatinya.
“Jadi, sekali lagi tolonglah saya . Kalau sudah berhasil saya pasti sangat berterima kasih kepada Anda.”
Air mata kegetiran Kinasih rupanya berhasil menumbuhkan kembali hati nurani penghipnotis yang selama ini telah sirna. Ia bayangkan seandainya yang mengalami masalah itu adiknya, yang juga seorang janda. Pasti ia pun akan sangat geram.
“Apa yang harus saya lakukan?”
Karena dia telah mempermalukan saya di depan umum, saya ingin dia juga merasakannya.
Lalu Kinasih menjelaskan apa saja yang akan mereka lakukan.
“Kalau begitu, kapan kita memulainya?”
“Secepatnya.”
Keesokan harinya mereka mulai bekerja.
Keduanya berlaku sebagai spionase, menyelidiki keberadaan Sang Aktor. Mereka sudah mengontak wartawan infotainment bekerja sama dalam perburuan.
Kesempatan yang ditunggu-tunggu akhirnya muncul juga. Sang aktor berjalan-jalan di sebuah plaza yang terkenal di bilangan Senayan. Tanpa membuang-buang waktu, penghipnotis itu melakukan tugasnya. Saat itu ia menggunakan kostum meniru gaya seorang penghipnotis yang belakangan ini sering muncul di televisi dalam menghibur penonton. Celana panjang dan kaus lengan panjang hitam-hitam. Kepala ditutup dan diikat dengan kain hitam. Kebetulan tubuhnya atletis, mirip juga dengan penghipnotis yang terkenal itu.
Bila orang tidak mengamati penghipnotis gadungan itu dengan teliti, pasti mereka terkecoh.
Saat sang aktor berjalan santai dengan kekasihnya, panghipnotis mengikuti dari belakang.
Sementara itu Kinasih bersembunyi dengan jarak tak terlalu jauh dari mereka. Penghipnotis menyenggol bagian tubuh tertentu Sang Aktor. Kerja yang cekatan ia lakukan. Crew infotainment sudah siap di sana. Acara yang menarik itu dibuatnya sebagai siaran langsung mirip salah satu acara remaja yang menyelidiki kesetiaan kekasihnya.
Penghipnotis seketika itu juga mengusap wajah Sang Aktor. Sementara kekasihnya hanya senyum-senyum saja. Sungguh, ia juga terkecoh.
“Masuki alam kejujuranmu, katakan dengan sejujur-jujurnya apa yang telah Anda lakukan terhadap seorang janda bernama Kinasih di rumah Anda!” Demikian kalimat bernada perintah namun lembut ia katakan.

Sang Aktor mengikuti perintahnya. “Hari itu tepatnya Selasa, 13 Desember tahun 2004. Jam menunjukkan tepat pukul 10.00 pagi, sengaja saya pilih waktu itu karena biasanya penghuni kompleks sedang pergi bekerja. Yang menjadi tempat peristiwa itu, di rumah saya sendiri, tepatnya di sebuah ruang musik agar tak ada orang yang mendengarnya. Di sanalah saya menggagahi kehormatan seorang janda bernama Kinasih. Saya memintanya datang ke rumah dengan berpura-pura akan membeli batik dagangannya. Wajahnya sangat ayu. Saya memang mengaguminya sejak saya membeli batik yang pertama kali. Tapi tak berniat serius karena saya seorang perjaka sementara dia, janda. Darah kelelakianku saat itu tak kuasa kubendung... .”
Ia mendeskripsikan peristiwa itu dengan jelas, gamblang, dan lancar, tanpa keragu-raguan sedikit pun. Sang Aktor menjelaskan peristiwa itu secara kronologis. Setelah semuanya diungkapkan, dipanggilnya Kinasih yang tak jauh dari tempat persembunyiannya. Dimintanya Kinasih berdiri di sebelah Sang Aktor.
“Apakah wanita yang Anda maksud adalah ini? Penghipnotis menunjuk pada wanita lain.
“Bukan.”
Pertanyaan yang sama juga dilontarkan dengan menunjuk pada wanita yang lain lagi. Demikian penghipnotis melakukannya hingga lima kali.
Sang Aktor tetap menjawab, “Bukan.”
“Apakah perbuatan itu Anda lakukan kepada wanita ini? Kali ini penghipnotis menunjuk pada Kinasih.
“Benar.”
Pertanyaan yang sama dan arah yang sama diulang berkali- kali. Jawaban Sang Aktor tetap sama, “benar.”
“Ya, dialah Kinasih, janda muda yang saat itu saya gagahi.”
“Sekarang minta maaflah kepada Kinasih. Bersimpuhlah di kakinya ungkapkan dengan penyesalan.”

Sang aktor bersimpuh di kaki Kinasih. Sementara itu, Kinasih tetap berdiri dengan senyum kemenangan. Penghipnotis mengusap wajah sang aktor untuk kembali menyadarkannya.
Sang Aktor mengucek-ucek matanya sambil nyengir kuda, tersenyum bingung. Ia tak mengetahui apa yang terjadi pada dirinya. Yang lebih membingungkan lagi, dirinya berada di depan kamera, di tengah-tengah kerumunan orang yang sedang menertawakannya dan berteriak-teriak, “Huuuu….” Ada juga wanita yang melemparkan bekas botol minuman plastik ke arahnya dengan geram. Sang Aktor begitu terperangah apalagi ia melihat di sisinya berdiri Kinasih yang sedang tersenyum puas. Dengan wajah yang memerah penuh malu, Sang Aktor bergegas pergi. Kali ini tanpa lambaian tangan. Sementara sang pacar sudah meninggalkannya lebih dahulu dengan perasaan sangat kecewa.
.
Jika berkenan mohon bantu subscribe channel admin, makasiiiihh!!