Widget HTML Atas

Cerita Penuh Hikmah | Sabar

Untuk anggota Hamba Yang Bertaubat
N.h. Aeni Addamawy 26 Januari jam 10:36 Balas
Matahari tergelincir dari titik zenitnya, memberi rasa terik pada rumah-rumah di area pemukiman padat “Jalan Baru” yang berdinding setengah bata-setengah papan, beratap seng, dan berdempetan satu dengan lainnya. Di tengah-tengah pemukiman itulah kami tinggal. Kami baru saja sholat dhuhur berjamaah di masjid, lalu beristirahat. Makan siang sudah kami lakukan sebelumnya di kantor.

“Teng tong.. Assalamu’alaikum!?” Bel bersuara “salam” di rumah kami berbunyi.

Bel itu sengaja kami beli dan kami pasang untuk mengetahui tamu-tamu yang datang. Kontrakan kami ada dua lantai. Lantai satu, kami biarkan kosong karena gelap. Di situ ada kamar mandi dan dapur. Lantai dua, kami fungsikan sebagai ruang tamu, ruang tidur, dan ruang pertemuan. Tidak ada perabot yang berarti, kecuali ruang kosong beralas karpet plastik tebal. Ada jendela besar yang berlatar pemandangan Gunung Nona. Pemandangan itulah yang sering bisa mengurangi “kesumpekan” kami karena keterbatasan ruang yang ada.

Segera saya bergegas turun menjemput siapa yang datang.

“Wa’alaikum salam!. Masuk Tri!”.

Yang datang rupanya Tri Winoto. Dia adalah seorang teman yang berkantor di Gedung Keuangan Negara Ambon, yang berjarak sekitar 500 meter. Ada masjid kecil di sekitar kantor, namun dia lebih sering sholat dhuhur di Masjid Al-Fatah, masjid terbesar dan menjadi kebanggaan warga muslim kota Ambon. Biasanya sehabis sholat di sana, dia singgah ke tempat kami, yang hanya berjarak sekitar 20 meter di muka masjid tersebut.

Sebenarnya tidak hanya Tri yang sering berkunjung, teman-teman yang tersebar di kota ini suka sholat dhuhur di masjid besar itu, sekalian makan, kemudian mampir istirahat di tempat kami. Di seputaran masjid memang banyak ditemukan rumah makan. Kami bersyukur, rumah kami senantiasa ramai, dan Insya Allah membawa keberkahan tersendiri.

“Pak, saya numpang makan di sini ya!”.

Kata Tri sambil mengeluarkan “Tupperware”nya. Itulah uniknya dia, sering dibawakan “bekal” makanan oleh isterinya. Ada beberapa alasan tentu saja. Selain hiegienis dan murah, yang lebih penting adalah terjamin kehalalannya. Satu lagi, lezat. Dia selalu memuji kelezatan masakan isterinya itu. Di samping memang lezat secara "dhahirnya", juga lezat secara "substansinya" karena berbumbu ”perhatian, cinta, kasih sayang, dan komitmen kepada keimanan”. Dia selalu memprovokasi kami untuk mengikuti jejaknya segera menikah, sehingga bisa merasakan apa yang dinikmatinya.

Tri mulai menikmati masakannya, sedangkan kami kadang menemani sambil membaca koran, tiduran, atau ikut makan bersama dengan makanan yang kami beli di warung terdekat. Biasanya kami ngobrol-ngobrol ringan seputar situasi kantor, kondisi teman-teman, program dakwah, atau tema-tema seputar keluarga dan pernikahan. Maklum, kami bujangan dan perlu belajar banyak dari yang mereka yang sudah berpengalaman.

“Teman-teman di kantor biasa makan di mana, Tri?” Kami bertanya.

Dia lalu bercerita bahwa sebenarnya, kantor menyediakan makan siang untuk para pegawainya. Awalnya hal itu menjadi keharusan. Tetapi karena bosan, akhirnya keinginan para pegawai untuk mencari variasi makanan di luar pun tidak bisa di cegah. Bagi yang mau makan di kantor, silahkan. Bagi yang mau makan di luar, silahkan.

“Kami sejak awal memang menghindari hal itu. Itu kan diambil dari dana taktis kantor”. Demikian Tri menuturkan.

Bukan cuma Tri yang memiliki pemahaman demikian dan menolak fasilitas itu. Masih banyak teman yang lain. Sudah jamak diketahui bahwa instansi keuangan itu selalu berlimpah dengan uang. Pegawainya memiliki nilai lebih di mata masyarakat. Mereka sering menjadi incaran orang tua yang memiliki anak gadis untuk dinikahkan dengannya. Yah, pokoknya hebat.

Memang ironis. Banyak persepsi yang salah tentang penghasilan pegawai negeri yang sebenarnya. Mereka tertipu oleh penampilan dan gaya hidup mayoritas pegawai. Padahal ada orang seperti Tri, yang hidup bersahaja, apa adanya, dan menjaga diri dari penghasilan yang syubhat (Tidak jelas).

Masalah makan siang di kantor bagi dia adalah masalah kecil. Dia bisa menolak dengan berbagai alasan. Yang sering menggelisahkan adalah kejadian-kejadian saat dia melakukan pemeriksaan di lapangan, yaitu "harus" menerima uang atas nama terima kasih, jamuan pemeriksaan, dan uang-uang “siluman” lainnya.

Untuk menyelamatkan integritasnya itu, dia mengajukan kepada kepala kantor agar dirinya dipindah ke bagian Tata Usaha (administrasi) saja. Tidak ada apa-apanya memang, bahkan dia akan kehilangan honor lapangan. Tapi dia begitu menjaga dari sesuatu yang dia takutkan.

"Mas, hati-hati ya. Insya Allah kami bisa sabar dan bisa menahan lapar untuk memperoleh yang halal. Tapi kami tidak bisa sabar dengan panasnya api neraka."

Itulah perkataan isteri tercinta, bergema saat dia keluar dari rumah kecil kontrakannya di bukit Tantui. Suatu nasehat dan penyemangat, agar istiqomah dalam mencari yang halal dan mengabaikan yang haram.

Hati saya menghiris pilu, tanpa sadar menitiskan air mata. Saya berenung, apakah saya akan bisa sesabar mereka, bergelut di tengah kedurjanaan. Hanya kepada Allah kami mohon bimbingan.

***
Hari berganti hari. Kami berpisah meniti jalan hidup masing-masing. Sepuluh tahun saya meninggalkan kenangan di kota Ambon.

Hari ini saya membaca berita, ada reformasi birokrasi dan keuangan yang diterapkan di Departemennya. Reformasi ini dilakukan dengan pertimbangan institusi ini dinilai paling rawan, namun pelayanannya sangat diperlukan oleh masyarakat. Jika sistem penggajian antara pegawai negeri dan swasta masih terlalu njomplang, tidak seimbang, maka sulit untuk mendapatkan kualitas pelayanan yang memadai dari institusi itu.

Sebelumnya, saya mendengar telah ada reformasi keuangan di beberapa kantor di departemen itu, sehingga mereka menjadi kantor pelayanan modern. Ini baru percontohan, dan akan diterapkan secara bertahap dan menyeluruh.

Tiba-tiba saya teringat Tri. Orang-orang seperti dia, memang pantas menerima kabar baik ini. Saya bersyukur. Semoga ini adalah buah dari ketaatan dari orang-orang seperti Tri, yang selama ini terdholimi, karena tidak bisa menikmati kue di saat yang lain memperebutannya. Saya belajar ketaatan dan makna kesabaran dari Tri. Saya juga belajar bahwa Allah itu maha adil. Pasti, Allah tidak akan mentelantarkan hamba-hamba- Nya yang taat seperti dirinya. Waallahu’alamu Bishshawaab.

Posting Komentar untuk "Cerita Penuh Hikmah | Sabar"

.
Jika berkenan mohon bantu subscribe channel admin, makasiiiihh!!