Widget HTML Atas

Cerpen Remaja: MIMPI BASAH

Cerpen ini merupakan contoh cerpen berdasarkan pengalaman pribadi namun diberi tambahan imajinasi. Cerpen yang saya tulis semasa SMA dulu ini, saya ketik apa adanya agar jiwa remajanya tetap terasa sesuai dengan kalian. Saya posting untuk memperingati hari Pahlawan yang jatuh pada hari ini. Silakan disimak.....


                Seorang kompeni berkumis tebal masuk dengan pistol di tangan diikuti anak buahnya.
                “Jangan bergerak. Angkat tangan dan kaki!”
                Perintah konyol! Kami terpaksa duduk di lantai yang basah oleh ‘air’ si Harun guna menuruti perintah itu. Kalau berdiri, gimana ngangkat kakinya? Yaaa... terpaksa duduk, walaupun baunya .... walah minta ampun! Coba bayangkan, capek banget ngangkat kaki sambil duduk.
                Si Kumis terkikik.
                “Hik... hik ... hik.....! Hei, kamu orang sekarang harus tunduk ama kompeni. And siapa yang membangkang, bisa pecah kamu orang punya kepala,” ujarnya dengan logat yang lucu kami dengar.             
                Gue dan Imus berpandangan. Bukannya takut. Tapi rasanya kami kenal sama suara dan wajah si Kumis ini. Kayak suara Bain. Ya, benar! Itu suara Bain!! Uh, pantes sejak kemarin tuh anak anak nggak muncul-muncul batang hidungnya. Rupanya sekarang udah jadi pengkhianat kost Pasar Baru.
                “Eh lu, Bain. Lu digaji berapa ama kompeni-kompeni itu, heh?” Imus langsung nyerocos.
                “He he he. Kalian mengenali gue juga rupanya......,” Si Kumis yang ternyata si Bain itu mencopot kumis palsunya, sambil tidak henti-hentinya terkekeh. Kumis itu ia buang ke lantai berbaur dengan bekas air kencing si Harun.
                “Pengkhianat.....,” desis gue. Jadi benci setengah mati sama tuh anak.
                “Diam!! Buritmu kaya muhaku. Eh salah, Muhamu kaya buritku....! Gue kagak mau disebut pengkhianat. Gue bukan pengkhianat. Gue Cuma ikut sama kompeni!” Mata Bain melotot. Sewot benar dia.
                “Sama aja!” sembur gue.
                “Diam!” Bain nodongin pistolnya ke arah gue. “Sekali lagi ngatain gue pengkhianat, gue tembak lu.”
                “Pengkhianaaaaat!” Gue teriak seserak-seraknya. Gue kira tuh anak nggak bakalan sampai hati  nembak gue. Nyatanya..... Duar! Pelurunya bersarang di dahi gue. Gue mengaduh sekuat-kuatnya. Duh.... matilah gue (yah slesai deh ceritanya). Seperti halnya orang yang ditembak, seperti di film-film, pasti tangannya mencengkram bagian yang ditembak. Nah, gitu juga gue. Tangan gue langsung ke dahi. Gue lihat tangan gue berdarah! Merah! Tapi.... gue merasa nyawa gue belum melayang. Dan dahi gue juga tidak terasa panas, walau sakit dikit. Aneh! Gue kebal! Padahal gue merasa nggak pernah belajar ilmu kebal, lho. Tapi... kok darah gue baunya sedap? Refleks aja gue yang emang belum makan seharian langsung nyicipin tuh ‘darah’. Eh enak, gurih. Sebentar aja udah habis gue jilat. Imus tercengang melihat kelakuan gue, terlebih-lebih Bain. Sedangkan Harun... ya ampun, tuh anak udah jatuh pingsan di lantai!!
                “Hah? Di, lu tahan peluru?” pekik Bain takjub.
                Si Imus berdecak kagum.
                “Tuan Pribumi,” tiba-tiba salah seorang serdadu kompeni yang sejak tadi diam saja, nyelutuk. “Itu bukannya peluru asli!” sambungnya, ditujukan pada Bain.
                “Bukan peluru asli? Lalu?”
                “Itu adalah peluru plastik yang di dalamnya berisi saus tomat,” serdadu yang lain ikut menjelaskan.
                “Ooo, pantes,” Si Bain ngangguk-ngangguk.
                Gue Cuma nyengir. “Lagi dong. Tembakannya man...na?” ledek gue, menirukan iklan Xoncee.
                Mendadak, salah seorang serdadu kompeni yang berjaga di luar kost, masuk. “Tuan pribumi! Meneer Yansen datang!” ujarnya.
                Si Bain tergugup. Memegangi atas bibirnya, lalu berjongkok dan memungut kumis palsunya yang ia buang tadi. Lantas dipasangnya. “Ih, bau pesing. Ah, masa bodoh lah,” gumamnya.
                Tepat pada saat itu, seorang lelaki berpakaian serba putih, masuk.
                Ei, bagaimana itu hasil kerjamu, wahai orang pribumi?” si Meneer berkata. Nah, ini baru logat Belanda asli.
                “Eh.... Oh, begini Tuan.... ha ha hacis!!” Si Bain bersin. Pasti karena bau pesing yang melekat di kumis palsunya.
                “God verdoome! Saya bukan Tuan Hacis! Tuan Yansen itu saya punya nama. You ingat?”
                “Oh, iy.. iyya, Tuan Yansen. Anu Tuan.... itu, hacis..., eh salah. Maksud saya, pembangkang-pembangkang alias ekstremis-ekstremis itu sudah tertangkap, Tuan..... hacis!!” Lagi-lagi si Bain bersin.
                “God verdoome. Hacis lagi, hacis lagi.”
                “Huh, dasar bungul. Tambuk. Kada tahu urang lagi bersin....,” maki Bain sambil mengendus-endus.
                “Hah? Apa kamu orang bilang?”
                “Oh tidak, Tuan. Saya bilang, Tuan hebat, gagah, dan baik hati.”
“Ho ho ho...,” Meneer Yansen kesenangan. “Trima kasih, trima kasih. Kamu orang bakal dapat hadiah nasi bungkus.....,” ujarnya, menepuk-nepuk pundak Bain.
                Gue, Imus, dan Harun yang udah siuman tak henti-hentinya cekikikan ngeliat adegan itu.
                “Pasukaaaan! Ikat itu ekstremis-ekstremis. And bawa ke tengah pasar itu punya tempat,” Meneer Yansen memberi perintah.
                “Baik, Tuan!”
                Gue, Imus, dan Harun nggak bisa berbuat apa-apa. Habis, kayaknya pistol yang dipegang para kompeni itu, kecuali pistol Bain, adalah pistol beneran (wah payah, mental kerupuk, nih).
                Kami digiring kayak sapi ke tengah pasar. Dan rupanya, di sana udah banyak teman-teman kost yang lain. Seperti Guntur, Ami, Ngadianto, Azis, Didik, Agus HP, dan lainnya. Mereka udah terikat pada masing-masing tiang yang ada di tengah pasar. Kayaknya akan diadakan hukuman tembak sampai mati. Hi... gue bergidik. Mendingan gue dijajah, disuruh ngerjain ini itu daripada ditembak mati (Terbalik! Seharusnya, lebih baik mati daripada harus dijajah!).
                “Halo....,” si Agus masih juga menyapa gue. Padahal lehernya kayaknya kenceng banget diikat.
                “Halo juga....,” sambut gue lemah.
                Gue, Imus, dan Harun diikat pada tiang yang tersisa. Menit berikutnya, masing-masing serdadu kompeni mengambil ‘stand’ dan siap menembak kami. Sementara para penduduk sekitar pasar maupun yang jauh berdatangan bagai air bah. Bahkan gue lihat, malah ada yang datang satu truk, entah dari desa mana, padahal Cuma mau ngeliat kami ditembak mati. Satu-persatu air mataku bergulir. Ingat mama, abah, keluarga, guru, teman, pacar...., oh!
                Meneer Yansen berkata: “Lelaki yang punya itu jerawat jangan ditembak dulu! “ Tentu yang dimaksud olehnya adalah gue.
                Ia lantas memberi komando, “ Satu, dua, tiga!” Dan ......
                Dar!!!!!
                Letusan senjata api menggema.
                Gue teriak. Erangan teman-teman lebih keras lagi. Masing-masing meregang nyawanya yang melayang kayak layangan putus. Gue lihat, ada yang kena kepala, leher, dada, perut, selangkangan....
                Lagi-lagi gue bergidik. Dan tanpa gue sadari, celana gue basah!
                “Sekarang, giliran kamu orang!” ujar Meneer Yansen.
                Rupanya, ia sendiri yang akan menembak gue. Gue berontak, meronta, dan teriak: “Gue kagak mau mati bujaaaang!”
ooOOoo
                Gue masih berontak. Sekuat tenaga. Dan.... Ketika gue membuka mata, ternyata gue masih berada di kamar kost gue. Tapi, celana dan kasur gue basah! Gue ngompol!
                Sekonyong-konyong, telinga gue dengar suara dari rumah sebelah: “Lapor komandan, Belanda sedang menuju kemari.....”
                Hah? Gue tersentak. Langsung berdiri dan teriak, “Serrbuuuuuu!”
                (Padahal suara tadi adalah suara dari adegan film perjuangan di TV)

Sebamban, Rabu 26 Oktober 1994

(Foto ilustrasi: Google)


.
Jika berkenan mohon bantu subscribe channel admin, makasiiiihh!!